Jiwa Yang Sunyi
Jauh sudah ku melangkah dan aku tidak tahu lagi kemana aku akan melangkah, jiwa dan ragaku telah letih tapi aku tidak bisa berhenti disini karena perjalananku masih panjang, masih banyak yang harus kulakukan dan aku harus bisa mencarinya. Mencari sesuatu atau seseorang yang aku sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang aku cari dan apa yang akan kuraih nanti hanya waktu yang dapat menjawabnya.
Yang kurasa saat ini jiwaku yang sunyi, hampa, sendiri tanpa cinta dan kehangatan, aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Kadang aku merasa diriku tidak normal karena aku selalu menghindar dari hiruk pikuknya kehidupan ini. Almarhum Ayahku berpesan padaku “Keluarlah dari duniamu, kamu harus mencari pendamping hidup, kamu tidak bisa selamanya hidup sendiri seperti sekarang ini. Jangan kau tutup dunia luar karena tidak semuanya dunia luar itu kotor dan hina.”
Aku ingin melakukan itu tapi aku tidak tahu bagaimana caranya, aku hanya punya satu teman yaitu diriku sendiri yang selalu kupercaya. Aku bekerja di salah satu biro iklan ternama di Jakarta , tugasku hanya mencari inspirasi untuk produk yang akan dilempar ke pasar. Teman – teman kerjaku memberi julukan “The Untouchable” untuk diriku, aku sendiri tidak tahu maksud mereka apa sebenarnya, aku hanya menanggapinya dengan dingin saja.
Mungkin karena sikapku inilah yang menyebabkan mereka memberiku julukan seperti itu. Sengaja aku menutup diriku dengan dunia luar karena meraka sangat menyukai menikam temannya sendiri dari belakang dan itu sudah menjadi sifat dasar mereka. Aku sendiri merasa nyaman dengan duniaku, aku merasa bebas, tapi ada satu hal yang selalu mengganjal hatiku. Setelah ku merenung kutemukan jawabannya ialah “sekali lagi aku merasa jiwaku begitu sunyi” tanpa irama sedikitpun.
Benar kata Ayah, aku harus bisa keluar dari duniaku agar jiwaku tidak lagi sunyi. Hari ini ada karyawan yang baru masuk dan dia tempatkan untuk menjadi partnerku. Awalnya aku menolak keputusan Rudi karena selama ini aku terbiasa bekerja sendiri dalam mencari inspirasi, tapi Rudi berkehendak lain.
“Har, kamu tidak bisa seperti ini terus, aku temanmu dan ini perusahaanku dan aku sudah putuskan bahwa mulai hari ini kau akan punya partner. Jangan membantah karna aku yakin suatu saat nanti kamu akan berterima kasih atas apa yang kuputuskan saat ini.”
Setelah aku tahu partnerku seorang wanita, aku tahu apa maksud dibalik keputusan Rudi, temanku ini ingin aku membuka diriku terhadap dunia luar walaupun itu hanya sedikit. Partnerku termasuk tipe orang yang sedikit bicara banyak bekerja, namanya “Mumtaz”.
“Selamat bergabung di perusahaan kami, aku ingin kalian dapat bekerja sama dengan baik, sahut Rudi.”
“Terima kasih Pak, perkenalkan aku Harlan, saya Mumtaz, nama yang indah, sahutku.”
Kulihat ekspresi wajah Rudi, dia tersenyum padaku, sambil berbisik dia berkata”Langkah awal yang bagus sobat, aku yakin kau bisa membuatnya terkesan dengan caramu sendiri.”
Enam bulan telah berlalu, walaupun kami sering selisih pendapat tapi kami tetap kompak dalam mengambil keputusan untuk memuaskan para klien kami. Tanpa kusadari Mumtaz telah memasuki jiwaku yang sunyi untuk membuatnya lebih berwarna dari sebelumnya.
Baru kali ini aku merasa begitu nyaman saat berada di dekatnya, apa ini yang dinamakan orang “cinta”. Aku sendiri tidak tahu apa arti perasaan ini.
“Har malam ini kamu ada acara tidak, tidak! Memangnya kenapa?”
“Kebetulan aku punya dua tiket bioskop kamu maukan nonton bersamaku, kenapa tidak, sahutku.”
Hatiku merasa berwarna dan gemerlap, aku sudah dapat melangkah lebih jauh lagi untuk mengenal yang namanya dunia luar.
Hari ini udara terasa begitu sejuk menyapa wajahku dengan lembutnya. Aku ingin menemui Mumtaz untuk mengajaknya sekedar berjalan – jalan di Mall sambil makan siang karena hari ini hari minggu yang cerah. Betapa terkejutnya aku sesampainya aku dirumah Mumtaz, kulihat Rudi sedang mengecup kening Mumtaz dengan penuh rasa cinta.
“Apa yang kau lakukan Rud!! Sahutku dengan nada marah.”
Rudi sangat terkejut mendengar suaraku dengan kerasnya, lalu dia berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
“Har, aku akan jelaskan semuanya padamu.”
“Apa yang akan kau jelaskan padaku, selama ini kau tahu perasaanku pada Mumtaz, tapi kenapa kau menikamku dari belakang.”
“Aku minta maaf Harlan, selama ini aku telah membohongimu, aku lakukan ini semua hanya semata – mata untuk membuka mata dan hatimu untuk lebih mengenal indahnya dunia luar.”
“Apa maksudmu jangan berbelit – belit , Rud.”
“Mumtaz adalah tunanganku dan dia sebenarnya seorang Psikolog.”
“Apa menurutmu selama ini aku tidak waras.”
“Secara tidak langsung ‘Ya’ karna kamu hidup di duniamu sendiri, apa kamu lupa di dunia ini kita tidak bisa hidup sendiri. Tapi kamu! Begitu asyik dengan duniamu tanpa memperhatikan sekelilingmu bahkan aku temanmu sendiri tidak pernah kau perdulikan.”
“Jadi itu pendapatmu tentang aku, Rud!”
“Kau salah Harlan! Sejak SD dan sampai sekarang kau tetap menjadi Harlan yang jenius, dengan kepintaranmu kamu tidak perlu lagi orang lain, kau anggap mereka seperti lalat yang selalu mengganggumu.”
“Aku tidak ingin Harlan yang seperti itu, yang aku inginkan dan almarhum kedua orang tuamu inginkan adalah kamu dapat berinteraksi dengan dunia luar, dengan kepintaranmu tanpa keegoisanmu.”
“Memang aku akui caraku ini begitu kotor dimatamu, karena kupikir hanya ini cara satu – satunya yang ampuh.”
Tanpa kusadari air mataku membasahi pipiku, mungkin ini yang pertama kalinya aku dapat menangis lagi, sejak Ibuku meninggal waktu aku kelas Tiga SD aku tidak pernah menangis lagi seperti anak – anak yang lainya seusiaku saat itu.
“Kau tidak salah Rud, kamu benar aku memang harus berterima kasih padamu atas jerih payahmu selama ini hanya untuk membuka diriku terhadap dunia luar.”
“Aku minta maaf pada kalian berdua, tidak masalah Har, kita akan selalu bersahabat dalam suka ataupun duka sampai ajal menjemput, sahut Rudi.”
Hari ini aku telah terlahir kembali sebagai Harlan yang baru dengan dunianya yang penuh dengan warna, berkat temanku kini jiwaku tidak lagi sunyi dan aku dapat menatap indahnya dunia ini dengan gejolak jiwa yang berirama dan berwarna.
By :
Yulinda Kumara Ramandini
Komentar
Posting Komentar